Pers Birama (2/3/2025) – Kebijakan Presiden RI yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 1 Thn. 2025 tentang Efisiensi APBN 2025 merupakan upaya strategis pemerintah untuk mengatasi rendahnya pendapatan negara dan menghemat anggaran belanja. Dilansir dari Sekretariat Kabinet RI, Prabowo Subianto menekankan pentingnya efisiensi dalam penggunaan APBN kepada seluruh lembaga negara. “Saya mengajak seluruh unsur untuk mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang bersifat seremoni ….” tegasnya.
Efisiensi anggaran berdampak langsung pada berbagai sektor seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Lalu, bagaimana tanggapan mahasiswa Unikom mengenai kebijakan tersebut?
Fazlur Rahman Fadilah, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional menganggap bahwa kebijakan efisiensi bertentangan dengan penambahan jumlah kementerian sehingga menciptakan paradoks. “Prabowo memotong anggaran dari berbagai kementerian dan lembaga. Namun di sisi lain, di awal Prabowo menjabat, jumlah kementerian diperbanyak menjadi 48 menteri dengan 56 wakil,” paparnya.
Alwi Fadillah, mahasiswa Ilmu Komunikasi mengaku pada awalnya dirinya tidak peduli dengan efisiensi anggaran. Namun pandangannya berubah saat memahami apa saja dampak negatif yang ditimbulkan dan merasa kecewa dengan kebijakan tersebut. “Kesal iya, kecewa iya, sama kebijakan baru presiden ini,” ucapnya.
Tanggapan lain diungkapkan oleh Talitha Siti Azizah, mahasiswa Sistem Komputer yang menilai bahwa efisiensi anggaran dimaksudkan untuk menjaga kestabilan ekonomi. “Menurut saya (efisiensi) itu dapat mengurangi pemborosan dan juga dapat menjaga stabilitas ekonomi,” ujarnya.
Sementara itu, Ala (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Ilmu Komunikasi menyoroti dampak efisiensi anggaran pendidikan. “Kalau anggarannya (pendidikan) dipotong, dampaknya bisa ke banyak hal, mulai dari kualitas sekolah, kesejahteraan guru, sampai akses pendidikan buat anak-anak di daerah terpencil,” tegasnya.
Di sisi lain, Robin, mahasiswa Sistem Informasi berargumen bahwa penggunaan dana hasil efisiensi seharusnya benar-benar ditujukan untuk pengembangan sektor atau program yang bermanfaat seperti makan bergizi gratis.
Senada dengan pernyataan Robin, Wulan Keisha Permata, mahasiswa Komputerisasi Akuntansi berkomentar bahwa pemotongan anggaran bisa dimaklumi apabila mempertimbangkan sektor-sektor penting seperti pendidikan. “Saya sebagai mahasiswa berharap pendidikan tetap jadi prioritas. Jangan sampai mahasiswa yang lagi berjuang kuliah jadi kena imbasnya,” katanya.
Ketika dimintai keterangan mengenai hal apa saja yang ingin disampaikan kepada pemerintah, Fazlur meminta pemerintah untuk menyediakan ruang diskusi. “Kaum terpelajar dan kritis di bawah sini ingin keberanian Anda semua untuk berdiskusi secara empat mata dan tidak sembunyi di balik gedung serta mengirim para adik-adik kepolisian untuk menghadang kami dengan cara fisik,” ujarnya. Fazlur menutup pernyataan dengan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, bukan oligarki. “It’s Democracy not Oligarchy,” serunya.
Sementara itu, Ala memohon agar pemerintah tidak membuat kebijakan yang minim pertimbangan setiap harinya. “Dear Pemerintah, stop banget bikin kegaduhan dan kebijakan dan hal-hal aneh setiap harinya. (Tahun) 2025 baru berjalan dua bulan, kepemimpinan juga baru berapa ratus hari tapi negara udah se-chaos ini.” Ala berharap agar pemerintah dapat memaksimalkan potensi negara dan merangkul masyarakat. “Panjang-panjang perjuangan,” tutupnya.
—Penutup–
Pemerintah menyatakan bahwa hasil penghematan anggaran, sebesar Rp300 triliun akan dikelola oleh Danantara. Dana tersebut rencananya akan diinvestasikan ke dalam 20 atau lebih proyek nasional.




Penulis: Raihan Nur Zahran, Iqbal Hapidin Febrian, & Dilif Sanjev
Sumber: BPK, Setkab
Foto: Pexels, Pixabay, Detik, Tempo, Republika
Redaktur: Ares